Selasa, 13 Juli 2010 01.24
Mirror
Kau pernah bertanya padaku mengapa kau tak seperti anak kebanyakan, Sayangku.
Waktu itu kita sedang bermain di taman, dan di depan kita sebuah keluarga sedang berpiknik di atas selembar taplak. Dua anak dan orang tuanya.
Ayah mereka bermuka ramah dan memakai polo shirt abu-abu, dan ibu mereka dengan gaun sederhana yang menurutmu cantik sekali...
Mereka tampak bahagia. Kau terus bertanya mengapa kau tak seperti mereka dan anak lain yang sering kau lihat.
Kau biarkan eskrimmu meleleh di tanganmu dan kau terus menatapku tanpa cela—
—mengapa, Papa? Tanyamu lagi untuk kesekian kali.
Waktu itu aku hanya tersenyum dan pura-pura bertanya balik padamu, mengapa apanya, Sayang?
Mengapa orang-orang takut padamu? Kau memulai racauanmu yang ternyata sangat panjang. Mengapa di rumah kita banyak orang menyeramkan? Mengapa kau tak pernah memakai polo shirt atau kemeja garis-garis? Mengapa kita tak bisa pergi bertiga saja? Dan mengapa kau selalu membawa 'itu'? Lalu kau menunjuk saku jasku di mana aku selalu menyimpan senjataku.
Aku hanya tersenyum kecil dan menjawab, 'Mengapa kau harus seperti anak kebanyakan, Sayang?'
Yang membuatmu tertegun, melamun beberapa hari kemudian karena tak kunjung kujelaskan dan kau baru berhasil melupakannya ketika kau pingsan di Bath waktu itu.
Kau melupakannya, padahal aku berharap kau masih akan bertanya padaku mengapa kau tak mesti seperti anak-anak lain.
Tapi aku tak menyalahkanmu.
Bukalah hadiah dariku dan temukan jawabannya sendiri, Sayang.
Satu hal, kau memang tak boleh seperti semua anak-anak biasa karena hanya dengan menjadi 'tak biasa'lah... kau bisa jadi anakku, putri kecilku yang kucintai.
Sekarang kau mungkin sudah besar karena aku tak tahu di umur berapa Anna akan memberikan hadiah ini padamu.
Satu hal: bagiku, kau istimewa. Jadi mengapa harus seperti anak-anak lain?
Athazagoraphobia,
The fear of being forgotten.
Katakanlah... yang di atas tadi adalah sebuah prolog. Setelah semua yang terjadi padanya hari ini—meski ternyata hari masih pagi—lidahnya terlalu kelu untuk berkata-kata. Kotak kayu berdebu yang sejak tadi bertengger manis di dekatnya di lubang salah satu jendela mendadak saja tersenggol dan jatuh ke atas tumpukan jerami yang langsung menghamburkan debu. Mengagetkan beberapa burung hantu berukuran kecil yang masih setengah-ngantuk dan membuat beberapa dari mereka mengepak-ngepakkan sayapnya heboh. Charlotte Demelza Ryan ikut tersentak, tertegun sejenak sebelum dalam satu gerakan cepat membungkuk untuk mengambil si kotak yang hampir terbenam dalam jerami. Detak jantungnya berdentum-dentum cepat ketika ujung jemari gadis itu memutih mencengkram tekstur kasar kayu... mendekapnya di depan dada sebelum mengembalikannya ke tempat semula.
Charlotte kembali berdiri dan membebankan berat tubuhnya ke punggung. Seluruh gerakannya cepat dan tanpa perhitungan ketika ia menyandarkan bahunya ke dinding batu, menggerakkan beberapa jemarinya untuk membuka kertas yang sedikit kusut karena tergencet. Aliran darahnya mengalir deras... dan gerakan bulu matanya semakin cepat ketika lagi-lagi ia membaca surat yang membuatnya kaget di pagi buta. 23 April 1988, sepuluh tahun lebih setelah kematian Ayahnya, dan sebuah surat yang dikirimkan dari sang Ayah mau tak mau membuatnya tak percaya setengah mati.
...
Ia kira orang-orang begitu sibuk di akhirat hingga tak ada lagi teman atau kerabat hidup yang masih mereka ingat. Ia kira di kehidupan setelah mati, seseorang akan dibangkitkan jadi sesuatu yang berbeda tanpa sedikit pun unsur ketika hidup—kecuali dosa dan pahala, tentu saja—mencampuri hari-hari mereka. Ia kira semua sudah terputus ketika Ayahnya pergi dengan lubang bekas peluru di kepala, tapi ternyata ia salah. Salah dengan 'S' besar-besar di depannya. Bagai kado di malam natal pertama Charlotte sesuatu yang tak pernah ia sangka tiba-tiba saja muncul. Gabriele memang memberitahunya bahwa beberapa hari lagi—yea, khas Gabriele, tak jelas dan seenaknya—dia MUNGKIN akan memberi Charlotte secuil hadiah. Tapi tak pernah ia sangka kalau hadiahnya akan begitu mengejutkan seperti ini.
Kalau direfleksikan menjadi sebuah efek suara suaranya pasti sudah lebih heboh dari 'DUARR!' tiga belas kali berturut-turut—benar-benar mengejutkan. Membuatnya bakan sampai berpikir mungkin saja Hermes datang mengetuk rumah mereka beberapa hari lalu mengantar surat dari akhirat, tapi ia ingat ini dunia sihir, bukan Gunung Olympus dan surat dari akhirat sama tak mungkinnya dengan Unicorn Pemakan-Daging. Yang berarti kemungkinannya sudah jelas; Ayahnya menulis surat ini bertahun-tahun lalu atau Gabriele mengerjainya dengan pura-pura jadi Papa.
Kemungkinan kedua begitu masuk akal, meski yang pertama bukan tak mungkin. Nalurinya membuat Charlotte dengan perlahan mendekatkan kertas surat di tangannya mendekati hidung. Membauinya. Untuk mengetahui dengan jelas apa kertas yang dipakai oleh si surat berbau apak hasil bertahun-tahun tak dibuka atau bau baru dicetak. Penciuman Charlotte cukup tajam, ngomong-ngomong, hasil latihan memasaknya bertahun-tahun. Ia bisa membaui dengan jelas mana yang pakai buah atau tidak, mana yang pakai rum atau tidak, dan ia tak mungkin salah membaui kertas yang baru atau lama.
Benaknya mengumpat makin cepat, kerutan-kerutan di dahinya bertambah dengan cepat seperti lahar tumpah, kelopak matanya melebar ketika bau yang sudah sangat ia kenal memenuhi udara di hidungnya, masuk ke paru-parunya. Bau perpustakaan, lembar-lembar kertas lama, dan yang paling mengagetkan—
bau parfume ayahnya.Sulit untuk kukuh menganggap semua ini tipuan, Gabriele orang yang cuek; dan meski kelakuannya membagi hadiah tiba-tiba terlihat janggal, sepupunya yang usil lebih janggal lagi. Kemungkinan bahwa surat itu
memang ditulis oleh ayahnya berputar-putar dalam otaknya dan memompa jantung gadis itu makin kuat. Pandangan matanya beralih dari surat yang kini sudah beralih ke saku jubahnya ke kotak terbungkus krep yang sedari tadi ia abaikan.
Kalau benar surat itu dari ayahnya... isinya tentu sama mengejutkan seperti suratnya? Setidaknya seumur hidup ayahnya Stefano Bontade tak pernah mengecewakan Charlotte soal hadiah, membuatnya kini gugup setengah mati. Jemarinya terpeleset beberapa kali ketika dengan cepat ia membuka satu persatu selotip yang merekat bungkus. Tiga menit... lima... sepuluh...
Satu hal: bagiku, kau istimewa. Jadi mengapa harus seperti anak-anak lain?"Sebuah cermin?"
Kotak itu terbuka sepenuhnya... menunjukkan sebuah benda di dalamnya. Benda berdebu dengan kesan antik yang kuat. Oval, dengan bingkai tembaga berukir rumit—seperti huruf rune. Ia mengangkat benda cantik itu dari tempatnya yang beralaskan kain marun yang sama berdebunya, mengangkatnya horisontal sampai benda itu sejajar dengan wajahnya yang kebingungan. Menatap pantulan seorang gadis jauh di dalam, yang balas menatapnya dengan kedua alis saling tertaut.
"Ffuh!" Charlotte meniup permukaan kaca si cermin untuk menghalau debu, yang juga dilakukan si gadis di dalam cermin. Ia menggoyang benda itu kecil sambil masih menatap lurus tanpa fokus. Tak mengerti... apa maksud perkataan ayahnya tentang 'lihat-jawabannya-dari-hadiah-yang-kuberikan' dengan sebuah cermin sebagai hadiah.
"Papa, mengapa aku tak seperti anak kebanyakan?" tanyanya, mengetes, mungkin saja ternyata cerminnya bisa bicara."
YAK SAUDARA-SAUDARA SEBENARNYA INI ADALAH THREAD DETENSI SAYA DARI SNAPE. JADI MAKLUMI KALAU MERACAU. TIDAK DIMAKSUDKAN UNTUK DIREPP, TAPI KALO ADA YANG MAU REPP MONGGO