09.25
Hogwarts Idol (peserta) / I
"Nah, nah, dia saja Profesor Dumbledore. Ryan! Kemari!"
"A-ada apa Profesor?" (berjalan mendekat)
"Kau jadi MC Hogwarts Idol ya Ryan? Mau kan? Nah dia mau, Profesor Dumbledore,"
".............."Seperti angin, banyak hal selalu datang tanpa diduga kan? Seperti berkas-berkas sinar matahari, tiba-tiba kau dimandikan begitu saja tanpa diminta. Seperti hujan, kau tak pernah bisa menolak. Dan layaknya takdir, semua harus kau jalani tanpa bisa mengeluh. Roda itu berputar di porosnya, sementara kereta
selalu berjalan dalam lintasan. Namanya kodrat, yang digariskan langsung dari Tuhan turun ke manusia, lalu setelah sampai menguat bagai baja sampai kau tak bisa sedikit pun menggoyahkannya. Mengikatmu di ujung tangan sampai ke kaki, lalu menggerakkanmu seolah kau sang marionette.
Ini mungkin takdir, ketika satu sore basah di awal musim dingin, kepulangannya menuju asrama disambut oleh Profesor Septima bonus beban yang ia berikan untuk menjadi pembawa acara Hogwarts Idol. Dan ini mungkin kodrat, betapa pengajar Arithmancynya itu dilahirkan begitu menyebalkan. Semua ini sepertinya sudah digariskan, ketika tiba-tiba lidahnya kelu; tapi benarkah ini semua dari Tuhan, ketika tahu-tahu Profesor Septima sudah bicara banyak pada Profesor Dumbledore tentang banyak hal yang harus Charlotte lakukan ketika dia membawakan acara nanti? Charlotte mungkin memang brengsek kecil dengan harga diri setinggi langit—karenanya gadis itu terlalu rewel disuruh-suruh. Tapi jika kau tahu apa yang selanjutnya Profesor Septima katakan, dan kau ada di posisi Charlotte, kau mungkin tak akan bisa diam saja. Tebak apa?
"Nanti kau nyanyi pembukaan juga ya Ryan asdfghjkl!@#$%^&*()—"
(telinga berdengung, mata mendadak buta, otak hang)
-tuuuuut- (tewas)Mengenaskan memang. Tapi bahkan kini tak ada yang bisa dilakukannya. Senyum hangat waktu itu penuh arti; dan mungkin juga—menghipnotis? Pokoknya Charlotte tak bisa menolak permintaan Profesor Dumbledore, meski entah mengapa kini ia sedikit menyesali ketidakberdayaannya waktu itu. Kini—iya, sekarang. Acara sebentar lagi akan dimulai, dan sepengetahuannya, seleksi tahap pertama akan diadakan. Bola mata coklat milik sang gadis menyisir sekitar, Aula Besar telah menjadi tempat lain yang belum pernah dilihatnya. Keempat meja asrama plus satu meja staff telah lenyap entah ke mana, digantikan oleh sebuah panggung cukup besar yang mendominasi hampir satu per tiga ruangan—dan itu berarti sangat besar.
Lumayan. Panggung sederhana dari besibesi kuat tanpa pilar, dilapisi karpet tebal coklat kopi di seluruh permukaannya. Di depannya, sekitar enam atau tujuh meter satu meja cukup panjang melintang sebagai tempat para dewan juri. Lalu di belakang, beratus-ratus kursi berselimut kain putih sesuai bentuk berjajar sampai hampir ke pintu. Tempat para penonton yang ingin mengapresiasi.
Dia di belakang panggung, Charlotte Demelza Ryan, dan di tangannya ada mikrofon sihir untuk membesarkan suara. Baju yang ia pakai warnany midnight blue, ada tali yang melingkari leher dan pita besar di dada sebelah kiri. Tidak terlalu mewah dibanding baju-baju yang biasa ia pakai untuk pergi ke pesta, tetapi terlalu 'wah' untuk sekedar dipakai di areal lembaga pendidikan. Tak ada pilihan lain, terlalu memalukan dan tak mungkin baginya untuk kabur. Gadis itu menghela nafas pelan, menengadahkan kepalanya menatap langit-langit—lilin-lilin yang melayang sepenuhnya di langit-langit meredup sedikit, memberikan kesan temaram. Artinya? Acara akan segera dimulai, dan seharusnya kedua kakinya sudah melangkah naik ke panggung.
Tap tap tap. Senyum.
Sayangnya, pembukaan yang harus dilontarkannya bukan salam. Tapi lagu.
Lagu. Satu denting pertama menjadi awal dari rangkaian simphony, membuat gadis dua belas tahun itu menahan nafas. Alat-alat musik di sebelah kiri panggung yang bermain setelah disihir saling berpadu memainkan sebuah lagu. Lagu ini... yang entah karena alasan apa dipilihnya, yang sejak dulu selalu bisa dinyanyikannya dengan baik. Merlin, untung saja suara Charlotte tidak rombeng.
Ia memejamkan mata, mencoba menghayati lagu; sementara dadanya berdebur deras, ada perasaan aneh yang menyergap. Bayangan-bayangan akan kenangan lama tiba-tiba saja memberondong dan hatinya mendadak terasa nyeri. Charlotte tahu, lagi-lagi rasa ini datang lagi. Dulu-dulu sudah sering—sangat sering malah. Sejak tiga tahun lalu sampai sekarang, rasa ini beriringan bersama penyesalan yang paling dalam. Sempat hilang setelah kakinya menjejak Hogwarts, namun kenapa kini datang lagi? Ah rasa ini... namanya ia ingat jelas :
RinduMaybe I didn't treat you
Quite as good as I should have
Maybe I didn't love you
Quite as often as I could have
Little things I should have said & done
I just never took the time"Charlotte dia ini Ayahmu, namanya Stefano, ayo hampiri dia," waktu itu umurnya masih lima tahun, dua tahun tak bertemu, ia tak lebih dari gadis kecil yang tak punya ingatan apa-apa tentang siapa Ayah kandungnya.
"Pa—papa?" tanyanta takut-takut, memeluk erat pinggang sang ibu dengan wajah terbenam. Tubuhnya bergetar, dan ia sama sekali tak berani mendekat.
"Iya Charlotte, ayo..."Itu satu cerita tentang Ayahnya, Stefano Bontade, tiba-tiba saja menguar dalam ingatan. Baru ia sadari bahwa lagu ini begitu menggambarkan—untuk dia yang telah hilang tiga tahun lalu. Yang jasadnya telah melebur dengan tanah dan terkubur di perut bumi. Dia, yang baru Charlotte kenal tiga tahun sebelum kepergiannya. Dia yang terkasih, dia yang begitu dikaguminya.
But you were always on my mind
You were always on my mind".........."
"Charlotte?" ada sedikit paksaan, menyentak pelan lengannya yang semakin mengeratkan pegangan.
"Aku... tidak mau, Mama."Orang bilang penyesalan selalu datang terlambat; dan memang benar kan? Dulu Charlotte bahkan tak ingin mengenal Ayahnya, berbulan-bulan ia selalu menghindar. Hingga perlahan ketulusan itu terlihat, dan gadis itu benar-benar mengagumi sosok sang pemimpin. Ada kesalahpahaman yang terlambat disadari, ada kesempatan yang terlambat untuk dilewati. Lalu ketika semuanya menguap bersama embun, kau pikir apa yang bisa dilakukan oleh gadis itu?
Ia hanya seorang gadis kecil, dan umurnya baru delapan hampir sembilan. Rapuh, tipis. Ayahnya mati, Ibunya satu-satunya tempat bersandar, tak ada saudara yang ia miliki; dan ternyata pahit hidupnya tak berhenti sampai di sini. Keluarganya turun temurun mafia pemasok senjata, dan memiliki ladang candu jauh di sana. Mereka memang kuat, tapi di luar sana kelompok-kelompok lain tak lebih lemah. Hukum alamnya : ada yang memangsa dan ada yang dimangsa. Tapi dalam kasusnya : mereka saling memangsa. Bisa saja besok ada berita bahwa Ibunya mati, atau dua minggu lagi Gabriele yang di kepalanya bersarang peluru—siapa yang tahu?
Maybe I didn't hold you
All those lonely, lonely times
And I guess I never told you
I'm so happy that you're mine
If I made you feel second best
Girl, I'm sorry I was blindNadanya masih mengalun, terlantun dengan cantik dari bibir mungil merah jambu milik sang gadis. Sudutnya tertarik sedikit, ada yang salah di liriknya. Namun esensinya tak berubah—setidaknya menurut gadis itu. Yang kini istilahnya mungkin sedang
trance. Ia seolah kembali ke masa lalu, ketika umurnya masih delapan menjelang sembilan. Hari itu, masih melekat dengan jelas di benaknya yang terdalam, hampir tiga tahun yang lalu.
23 April 1981.You were always on my mind
You were always on my mind"Happy Birthday, Papa. Hati-hati di jalan," satu kecupan mendarat di pipi, waktu itu tengah malam sudah lewat. Di depan pintu sebuah gedung pertemuan di Palermo, ketika pesta sudah usai.
"Kau yakin tak mau ikut denganku, Charlotte?"
"Tidak kurasa, Papa. Mama minta ditemani lebih lama di sini sebentar lagi. Pulanglah dan beristirahat, kau pasti sangat lelah,"
"Baiklah. Jaga dirimu," itu kata terakhir, juga derum terakhir, dan kali terakhir ia melihat ayahnya dalam keadaan hidup.Rasanya perih, bahkan kini ketika semua itu sudah berlalu hampir tiga tahun lamanya. Telinganya bahkan kembali berdengung dan nyawanya lagi-lagi bagai dicerabut dengan paksa. Kelopak mata gadis itu membuka sebentar, mengerjap, bulir-bulir mutiara hampir jatuh namun mati-matian ditahannya. Kakinya masih menjejak, ia sadar. Dan tangannya, meski bergetar, masih memegang mikrofon dengan erat. Kepalanya sedikit pening, tapi ini tempat umum. Jadi ia mencoba kuat.
"Charlotte! Charlotte ayahmu! Ayahmu Charlotte!" lalu Gabriele datang sambil terengah, kemejanya berantakkan tak terkancing dan di tangannya ada senjata. Bulir-bulir keringat mengucur deras dari kulitnya yang putih mulus; di matanya, kengerian terpancar jelas.
Charlotte sedang memilah-milah minuman waktu itu, kendati pesta telah usai dan tuan rumah sudah pulang, tapi banyak tamu masih berbincang secara kelompok. Kedatangan Gabriele tentu saja mengagetkan, selain karena caranya yang tiba-tiba, di tangannya ada darah. Entah milik siapa.
"Apa yang terjadi dengan Papa, Gabriele? Dia kenapa?" waktu itu, nada bicaranya masih dijaga agar tidak panik.
"Dia... tertembak," suara Gabriele mendadak serak, pandangan paniknya mendadak layu.
"Mati?"
(anggukan)Little things I should have said & done
I just never took the time
You were always on my mind
You were always on my mind
You were always on my mind
You were always on my mindDan nadanya memelan dengan perlahan sebelum hilang. Lagunya sudah selesai untuk dinyanyikan. Satu lagu, tapi imbasnya begitu besar bagi Charlotte yang kini dibanjiri keringat dingin. Sudut bibirnya tertarik membentuk satu senyuman, layu. Kini saatnya bagi gadis itu untuk menjalankan tugas utamanya sebagai pembawa acara. Langkahnya maju dua, senyum di wajahnya dipaksakan.
"Selamat malam semuanya, selamat berkumpul di malam yang berbahagia ini," katanya sedikit terengah, suaranya dibesarkan hingga mencapai seluruh ruangan. "Seperti yang kita semua tahu, malam ini akan diadakan babak penyisihan untuk acara puncak kita, perwakilan dari tiap-tiap asrama akan memperebutkan posisi yang akan lolos ke babak selanjutnya."
"Di depan kita lima juri telah tersedia. Saya perkenalkan, Profesor Albus Dumbledore, Profesor Minerva McGonagall, Profesor Pomona Sprout, Profesor Severus Snape dan Profesor Filius Flitwick yang akan menilai kalian dari banyak aspek. Tentu yang terbaiklah yang akan terpilih. Dan sebagai pembuktian, mari kita panggil peserta nomor satu!"
Lalu ia turun, dan sementara peserta pertama menampilkan bakatnya, Charlotte terdiam dengan punggung bersandar pada dinding terdekat.
Papa, you're always on my mind—do you know?
- Oke, Charlotte di sini berlaku sebagai pembawa acara/mc, dan pakaian yang dia pakai seperti ini. Dia di atas bernyanyi hanya sebagai contoh bagi peserta, bagi yang masih bingung silahkan hubungi saya. Credit to Michael Buble-Always on My Mind buat lagunya.
- Nomor urut peserta tidak ditentukan, terserah siapa yang cepat dia dapat. Hanya, kami memberlakukan beberapa putaran setiap tiga hari. Putaran pertama 4 peserta, setelah itu juri mengomentari, lalu putaran kedua 4 peserta, sampai seluruh peserta habis. Kuota memang 4 peserta, namun jika belum ada 4 yang repply sampai batas 3 hari, maka juri akan mengomentari dan bagi yang tidak kebagian kuota dianggap gugur.
- Karena ketimpangan peserta lomba, maka di penyisihan ini akan dipilih 8 peserta untuk ke babak selanjutnya (panggung panas) dengan rincian 4 dari SETIAP asrama dan 4 sisanya diperebutkan secara random.
- Lagu yang dicantumkan harus FULL dan diberi kredit.
- Boleh menggunakan alat musik.
- Daftar peserta bisa dilihat di Pengumuman.
- Thread ini khusus peserta, pertanyaan silahkan layangkan lewat pm atau ym.