03.46
Karnı Aç / II
Sebagai seorang anak dua belas tahun yang masih lugu dan polos serta belum mengenal asam garam kehidupan, Charlotte
tentu berhak protes ketika suatu waktu keinginannya tak berjalan sesuai harapan. Ya kan? Lintasan kehidupannya sejauh ini berjalan dengan sangat lurus dan tanpa rintangan di bawah kemudinya, meski ia akui, beberapa kali kerikil-kerikil kecil menjegal lajunya dan hanya sekali batu yang cukup besar membuatnya oleng meski tak sampai jatuh maupun terperosok. Hogwarts, mungkin, yang membuat kehidupannya kini menjadi seperti rally dengan banyak belokan meski tak curam. Kehidupan picisan di kastil berjudul sekolah ini telah sukses membuatnya kesal sampai keriput dan sendirian sampai kering. Tak ada yang melindunginya dan menyodorkan apa yang ia inginkan setiap saat mungkin faktor yang membuat seorang Charlotte menjadi barbar dan kejam melebihi umurnya yang hanya dua belas, seenaknya, dan tak peduli akan nasib orang lain.
Keras.
Lalu faktor kebosanan dan tak ada teman telah membuat sisi 'otoriter'-nya tertimbun dalam-dalam dan berkembang biak seperti virus, berdenyut di balik kulit menunggu untuk dimuntahkan―Hogwarts, tanpa sadar telah membentuk seorang anak gadis sedemikian rupa, dari yang tadinya hanya egois menjadi sedikit lebih 'liar', begitu mengerikan dibanding ketika gadis itu dibesarkan bertahun-tahun di lingkungan mafia yang keras dan tak pandang bulu. Sekolah tak sebaik yang orang-orang pikirkan. Mereka bukan mendidik, tapi mendoktrin.
Hari ini mungkin hari yang sial bagi Charlotte, karena gadis itu harus melakukan banyak hal di luar kendalinya, dan tak ada yang lebih dibencinya selain itu. Tapi kau tahu, hari ini mungkin hari bersejarah seumur hidupnya, hari di mana 'seenaknya', 'persetan dengan nasib orang lain' dan 'otoriter' yang meluap-luap berkumpul jadi satu―hari ketika Charlotte Demelza Ryan berhasil membuat hampir setengah lusin laki-laki berpakaian seksi. Dan meski tak semenyenangkan memaksa para kaum adam memakai bra dengan manik-manik, dua gadis lain akan berkelian di antara dua bilik restoran ini, memakai kaftan dan juga turban.
Seperti dirinya.
Pengorbanan kecil, menghasilkan kesenangan yang tak terkira. Bisa kau bayangkan bagaimana mereka mati-matian menutupi identitas mereka di depan orang banyak nantinya?
Pintu telah dicopot dan diganti dengan tirai manik-manik ketika untaian berlian palsu merah jambu itu akhirnya bergemerincing, menjadi pertanda orang pertama masuk ke ruangan selain Charlotte, membuat dua alis sontak terangkat, dan dua sudut bibir tertarik mengulas senyum. Miliknya, ketika melihat siapa yang ternyata datang dan dengan rengutan memasang jepit pengencang wig, Bradley Crook yang cemberut entah mengapa terlihat 'manis'. Senyum itu bukan senyum manis, apalagi senyum geli yang centil dan dibuat-buat, tapi senyum puas penuh kemenangan. Nah nah, ada yang mau tebak apa yang dipakai si bocah di balik jubahnya?
"Aku... sakit perut. Tidak ikutan saja, ya? Oke?" (Smirk)
"Tidak bisa begitu dong, Bradly. Kau kan sudah janji," ujarnya sambil tersenyum lebih lebar, menarik tangannya yang entah sejak kapan diraih si bocah di hadapan. Di satu waktu, nada bicaranya tersengar biasa saja, tapi di waktu lain, jika kau merenungkannya dan mengulangnya sekali lagi dalam benakmu, itu berarti ancaman.
Lalu pipi si bocah Bradley bersemu merah muda, membuat Charlotte sambil menahan geli meletakkan satu tangan di pipi anak itu, mengusapnya pelan sambil tersenyum penuh keyakinan. "Bukannya sudah kukatakan kalau kau itu cantik, Bradly?"
Kau tahu, dua belah pipi Bradley Crook yang bersemu dan halus entah mengapa mengingatkannya pada bokong bayi...
Dua.
Dua kali Charlotte berhasil mendandani Bradley dengan alat-alat make up yang dia punya, dua kali juga ia berhasil memakaikan anak itu dengan baju-baju lucu yang sebenarnya norak. Baju perempuan, total dua kali Bradley menjadi banci di tangannya. Ia tersenyum puas di sapuan terakhir blush on-nya di pipi Bradley, meletakkan kotak yang sedari tadi ia pegang sampai pegal di meja terdekat. Charlotte kemudian bangkit, meluruskan punggungnya yang sudah encok karena terus membungkuk, kemudian tersenyum―
lagi.
"Nah ayo kedip-kedipkan bulu matamu, Bradly. Kita lihat apa bulu mata palsunya menempel dengan baik atau tidak," ujarnya sambil membereskan peralatan ke dalam kotak. Tepat ketika pintu lagi-lagi terbuka dan seorang gadis berambut keriting masuk...
...dan meliuk-liuk seperti cacing.
Sumpah, seumur-umur, ia baru melihat seseorang menggoyangkan pinggul gara-gara lagi timur tengah. Dan dilatari dinding dengan poster-poster gurun pasir seperti di sini, entah mengapa gadis itu jadi seperti seorang penari perut di matanya. Si gadis lalu berteriak keras, yang membuat Charlotte mengerjapkan mata beberapa kali, takjub, sebelum ia sadar siapa yang sebenarnya gadis cacing itu panggil dengan sebutan 'gadis arab'.
...
MUAHAHAHAHAHAHAHAHA ASTAGA DIA PANGGIL BRADLEY CROOK?!
Seberbisa-berbisanya ular betina, dia pantas tertawa juga kan?
"Astaga Bradly, pelanggan pertamamu! Ayo pergi, gadis arab!" Charlotte mendekat, berbisik ke arah Bradley Crook, mendorong bahu anak itu sedikit keras, sebelum akhirnya menoleh ke arah Dawne yang sejak tadi datang. Ia hanya mengangkat alis, masih terlihat puas akan pelanggan pertamanya.
"Belum datang. Aku tidak gila Dawne, heh mau kudandani kau?" tanyanya sambil lagi-lagi nyengir jahat.