07.39
>3 / II
Para pekerja bersabda dahulukan proses daripada hasil; karena istilahnya, tanpa telur mana ada anak ayam. Daripada memikirkan sesuatu yang belum pasti, mengapa tidak yang bisa diusahakan kini? Hasil itu... meski pedoman bukan berarti segalanya, Tuan. Nasib berbicara, usaha nomor satu. Tanpa proses, takkan ada hasil. Kalau Guillory terus-menerus meracau bawel seperti nenek-nenek, kau pikir Charlotte bisa membenahi rambut pemuda itu dengan benar? Ia akui bukan ahlinya memangkas-mangkas rambut seperti ini, rumahnya bukan barbershop. Lagaknya saja di depan Guillory supaya sang Prefek mau diapa-apakan. Mengingatkannya pada Bradley... pada setiap kesempatan Charlotte memakaikannya pakaian yang macam-macam.
Hiburan yang menyenangkan, tahu. Mengingat sangat sulit mencari kesenangan ketika hampir seluruh Profesor membebanimu dengan tugas mengarang bebas. Tapi niatnya tak pernah buruk; dan untuk alasan itulah dia memakai gunting dan sisir sebagai alat alih-alih tongkat yang dapat merapikan segala dalam sekali lambai. Charlotte tak mau melibas leher Guillory dengan tongkatnya di lambaian pertama. Niatnya
murni bersenang-senang. Siapa tahu setelah ini Proust makin cinta, dan ternyata Charlotte berbakat mencukur rambut—mungkin ia bisa menggunduli Gabriele musim panas tahun depan.
Menyeringai kecil, ia manggut-manggut saja ketika Guillory menyerahkan sepenuhnya pada gadis itu tentang gaya rambut, dia pikir Charlotte benar-benar ahli. Meski kalau boleh jujur yang dibutuhkan sang pemuda hanya sedikit potongan di dekat kerah dan telinga, akan
sedikit lebih menyenangkan kalau satu-satunya Prefek lelaki Slytherin berambut gelap itu tampil dengan gaya baru. Sedikit tipis di kiri-kanan sepertinya tak buruk juga. Guillory memiliki rambut tebal bergelombang yang terlalu menggoda untuk diguntingi.
Ia mengetuk-ngetuk mata gunting di dagunya. Berpikir.
“Berapa orang di rumahmu yang sudah menjadi kelinci percobaan?” Lalu satu pertanyaan muncul dari bibir sang Prefek bersamaan dengan mendekatnya seorang pirang yang ia identifikasi kemudian sebagai Zaelfiques—Prefek Hufflepuff—membuatnya mengangkat alis. "Sepuluh," ia menjawab pertanyaan Guillory selewat saja, menatap sedikit tak suka pada Zaelfiques yang memintanya merapihkan poni. Mendadak saja ia tersinggung. Meski berlebihan; meski bicaranya bersahabat sekali, musang satu itu; tapi tidakkah dia mengerti kalau Charlotte
bukan tukang cukur? Ia tidak menjual tenaganya, sayang. Apalagi memberikannya dengan cuma-cuma. Ia melakukan semua hal karena inginnya,
bukan karena diminta. Orang-orang melakukan sesuatu untuk gadis kecil itu,
bukan ia yang bekerja untuk mereka. Selalu seperti itu, di lebih dari empat belas umurnya, Charlotte Demelza Ryan terbiasa dilayani—bukan untuk melayani.
Keluarganya membesarkan dia dan menyediakannya berbagai fasilitas yang memungkinkan gadis itu menjadi seorang nona muda, bukan seorang pembantu apalagi tukang cukur. Dan kalau kau pikir setelah ini Charlotte masih mau memberi Zaelfiques setetes kecil bantuannya yang tak berarti, maka kau salah besar.
She'll make you an offer you can't refuse*. Bukan
she'll let you make her an offer she can't refuse.
Kau harus belajar mengerti bahwa harga diri adalah segalanya bagi anak-anak Slytherin, mereka mengusung itu di pundak mereka, di atas kepala. Lalu ketika
rumah mereka diobrak-abrik dan pertahanan mereka diludahi mentah-mentah, kau pikir mereka masih bisa terima? Charlotte heran bagaimana Zaelfiques dengan santainya menghampiri mereka seolah dia tanpa dosa. Setelah percobaan lempar-pie-ke-kepala-Ketua-Murid Pesta Awal Tahun lalu, sepantasnya Prefek itu malu. Masih berani minta tolong, hm? Tak ingat dia bergabung dengan para singa urakan itu beberapa waktu lalu?
"Aku tak perlu bantuanmu, Miss." ia tersenyum, manis. Kembali memfokuskan iris matanya ke arah rambut-rambut Guillory yang 'menggemaskan', dirasakannya pikirannya mulai-mulai kurang ajar. "
I can do this thing myself, so do you," lanjutnya, meletakkan satu tangan di tengkuk Guillory sedikit ke bawah, dengan hati-hati menggunting ujung-ujung rambut lelaki itu beberapa senti dari kerah. Bola matanya bergulir malas ketika seorang bocah lagi datang. Hufflepuff, tahun pertama. Makin-makin membuatnya malas melirik sekitar padahal hari sedang cerah-cerahnya, labu-lagu Hagrid tumbuh subur melebihi pinggang orang dewasa.
Mau tak mau Charlotte akui kejadian di Pesta Awal Tahun lalu membuatnya sebal setengah mati pada Gryffindor dan segelintir Hufflepuff. Harga dirinya terinjak-injak ketika barbar-barbar tak beradab itu terus menerus melempar loyang di tengah mantranya untuk melindungi. Heh, kau pikir mereka makhluk macam apa?
"Atau kau butuh kupinjami gunting, hm? Mau kubantu dengan tongkatku?"
Sedikit Diffindo mungkin akan membuatmu lebih cantik, Zaelfiques. Senyum tak sukanya begitu kentara.
*The Godfather.