01.23
11/01/1998
PLOP!"Mum... mum... astaga mum..." cengkraman kecil di jemarinya menguat ketika kaki-kaki mereka menjejak di atas hamparan salju desa penyihir Hogsmeade. Mereka baru saja sampai beraparisi. Irene—bocah kecil
nya yang berusia lima tahun—baru saja minta permen beberapa puluh menit lalu, dan kini mereka di sini, di jalanan Hogsmeade di musim dingin untuk memenuhi permintaan peri kecilnya yang cerewet itu. Irene yang baru pertama kali ikut berapparate membungkuk-bungkuk kecil dengan satu tangan bebasnya membekap mulut. Kelihatannya dia mau muntah.
"Kau kenapa sayang?" Charlotte berjongkok, ujung mantelnya menyapu salju. Wanita itu menelengkan kepalanya untuk melihat si peri kecil yang wajahnya tertutup rambut ikalnya yang terurai. Kerutan-kerutan di dahinya menandakan ia cemas.
"Mum..." Irene memelas, mengangkat wajahnya dan kedua pipinya yang menggembung. Raut wajah bocah kecil itu seperti habis makan bawang—sesuatu yang sangat dibencinya.
"Lain kali kita jalan kaki saja, 'kay? Atau naik sapu lebih baik. Aku benci menghilang seperti tadi..." ujarnya, yang membuat Charlotte tersenyum kecil. Memaklumi kalau reaksi peri kecilnya seperti ini karena Apparate memang bukan sesuatu yang menyenangkan, terutama bagi seorang anak kecil.
Charlotte mengacak-acak rambut Irene pelan, mengulurkan kedua tangannya yang langsung disambut si peri kecil sambil merengut. "Oke, lain kali kita naik sapu. Tapi Mum tak jamin kalau kau nantinya jatuh ya." kemudian berdiri... ia membawa Irene dalam pangkuannya.
"Minta belikan Dad permadani terbang saja..." balas si peri kecil, membenamkan wajahnya ke leher Charlotte semakin dalam.
***Ia tak pernah ingat ada yang berubah dari Hogsmeade. Empat belas tahun lalu, ketika ia pertama kali menjejakkan kakinya di sini dalam sosok seorang gadis kecil, semuanya hampir sama seperti sekarang. Mereka selalu berkunjung saat musim dingin jadi layaknya hari ini, Hogsmeade
selalu bagai pemandangan bola kristal untuk natal. Dan yang berubah mungkin hanya orang-orang yang berkunjung ke tempat ini... Charlotte dulu tiga belas, dengan jubah Hogwarts, berdandan ala Aladin untuk menarik pengunjung di kafe Turki, sementara sekarang ia dua puluh enam tahunan, dengan jubah penyihir dewasa dan seorang anak di pangkuan.
Hari ini ia libur dan rengekan anaknya tentang permen membawanya ke tempat ini. Pekerjaannya di Kementrian untungnya sedang senggang, jadi Mentri mengizinkannya mengurus anak. Ia terus berjalan sambil berbincang dengan putrinya yang masih cerewet meski dia sedang luar biasa mual. Minta permen tambahan, susu coklat, dan janji untuk membiarkan dia main pasir bersama seorang temannya di taman yang langsung Charlotte tolak mentah-mentah karena kulit anaknya sangat sensitif. Mereka juga membicarakan banyak kemungkinan akan apa yang sedang dilakukan suaminya sebagai pengacara, apa Charlotte akan memberinya udang kalau dia jalan sendiri yang lagi-lagi wanita itu tolak karena yah... bocah kecil itu begitu sensitif akan segala hal.
Mereka baru saja akan berbelok ke Honeydukes ketika kedua bola mata Charlotte tak sengaja menangkap segerombolan orang yang dikenalnya. Dengan anak-anak kecil yang baru kali ini ia lihat—Christabel, Light, Sirius, Harvarth, Solathel, Sieghart, Lazarus;
teman-temannya semasa sekolah. Keheranan akan apa yang mereka lalukan di sini Charlotte langsung mengubah niatnya dan menjauhi Honeydukes. Membuat Irene protes keras dan dengan tatapan merana berusaha menggapai toko permen.
"Mum, di sana! Kita tidak salah tadi! Aku bisa mencium baunya dari sini!" rengeknya sambil mengendus udara, tapi Charlotte tetap berjalan.
"Mum mau menemui teman dulu. Tunggu sebentar, nanti keburu mereka kabur." balasnya mempererat pangkuan, khawatir peri kecilnya loncat dan berlari ke toko permen.
Christabel dan Light masih sama seperti terakhir kali Charlotte bertemu dengan mereka. Sepuluh tahun lalu... ketika mereka berdua memutuskan pergi dari sekolah dan Christabel meninggalkannya berdua dengan Zeelweger sebagai Slytherin angkatan mereka. Begitu lama, hingga kenyataan bahwa sekarang mereka sudah menikah dan punya dua anak benar-benar membuatnya pangling. Rasanya seperti kembali ke masa sekolah dulu, tapi sekarang mereka sudah cukup tua; cukup bagi Charlotte untuk melupakan egonya dan bersikap baik sekian lama mereka tak bertemu.
"Christabel..." sapanya sedikit hati-hati. Takut ia salah orang. "Vittore, right? Bagaimana kabarmu?" kemudian melanjutkan, bola matanya sempat mengerling beberapa yang lain tak jauh dari mereka.
Irene